Minggu, 31 Januari 2010

Syarat Kalimat Laa Ilaha Illallah Yang harus Dipenuhi

Pada awal tulisan ini kami telah menjelaskan mengenai keutamaan laa ilaha illallah, di mana kalimat ini adalah sebaik-baik dzikir dan akan mendapatkan buah yang akan diperoleh di dunia dan di akhirat. Namun, perlu diketahui bahwasanya kalimat laa ilaha illallah tidaklah diterima dengan hanya diucapkan semata. Banyak orang yang salah dan keliru dalam memahami hadits-hadits tentang keutamaan laa ilaha illallah. Mereka menganggap bahwa cukup mengucapkannya di akhir kehidupan –misalnya-, maka seseorang akan masuk surga dan terbebas dari siksa neraka. Hal ini tidaklah demikian.

Semua muslim pasti telah memahami bahwa segala macam bentuk ibadah tidaklah diterima begitu saja kecuali dengan terpenuhi syarat-syaratnya. Misalnya saja shalat. Ibadah ini tidak akan diterima kecuali jika terpenuhi syaratnya seperti wudhu. Begitu juga dengan puasa, haji dan ibadah lainnya, semua ibadah tersebut tidak akan diterima kecuali dengan memenuhi syarat-syaratnya. Maka begitu juga dengan kalimat yang mulia ini. Kalimat laa ilaha illallah tidak akan diterima kecuali dengan terpenuhi syarat-syaratnya.

Oleh karena itu, para ulama terdahulu (baca : ulama salaf) telah mengisyaratkan kepada kita mengenai pentingnya memperhatikan syarat laa ilaha illallah. Lihatlah di antara perkataan mereka berikut ini.

Al Hasan Al Bashri rahimahullah pernah diberitahukan bahwa orang-orang mengatakan,”Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah maka dia akan masuk surga.” Lalu beliau rahimahullah mengatakan, ”Barangsiapa menunaikan hak kalimat tersebut dan juga kewajibannya, maka dia akan masuk surga.”

Wahab bin Munabbih telah ditanyakan,”Bukankah kunci surga adalah laa ilaha illallah?” Beliau rahimahullah menjawab,”Iya betul. Namun, setiap kunci itu pasti punya gerigi. Jika kamu memasukinya dengan kunci yang memiliki gerigi, pintu tersebut akan terbuka. Jika tidak demikian, pintu tersebut tidak akan terbuka.” Beliau rahimahullah mengisyaratkan bahwa gerigi tersebut adalah syarat-syarat kalimat laa ilaha illallah. (Lihat Fiqhul Ad’iyyah wal Adzkar I/179-180)

Mengenal Syarat Laa Ilaha Illallah

Dari hasil penelusuran dan penelitian terhadap Al Qur’an dan As Sunnah, para ulama akhirnya menyimpulkan bahwa kalimat laa ilaha illallah tidaklah diterima kecuali dengan memenuhi tujuh syarat berikut :

[1] Mengilmui maknanya yang meniadakan kejahilan (bodoh)

[2] Yakin yang meniadakan keragu-raguan

[3] Menerima yang meniadakan sikap menentang

[4] Patuh yang meniadakan sikap meninggalkan

[5] Jujur yang meniadakan dusta

[6] Ikhlas yang meniadakan syirik dan riya’

[7] Cinta yang meniadakan benci

Penjelasan ketujuh syarat di atas adalah sebagai berikut.

Syarat pertama adalah mengilmui makna laa ilaha illallah

Maksudnya adalah menafikan peribadahan (penghambaan) kepada selain Allah dan menetapkan bahwa Allah satu-satunya yang patut diibadahi dengan benar serta menghilangkan sifat kejahilan (bodoh) terhadap makna ini.

Allah Ta’ala berfirman,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah.” (QS. Muhammad [47] : 19)

Begitu juga Allah Ta’ala berfirman,

إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang mengakui dengan benar (laa ilaha illallah) dan mereka meyakini(nya).” (QS. Az Zukhruf : 86)

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az Zumar [39] : 9)

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir [35] : 28)

Dalam kitab shohih dari ‘Utsman, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim no.145)

Syarat kedua adalah meyakini kalimat laa ilaha illallah

Maksudnya adalah seseorang harus meyakini kalimat ini seyakin-yakinnya tanpa boleh ada keraguan sama sekali. Yakin adalah ilmu yang sempurna.

Allah Ta’ala memberikan syarat benarnya keimanan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan sifat tidak ada keragu-raguan. Sebagaimana dapat dilihat pada firman Allah,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hujurat [49] : 15)

Apabila seseorang ragu-ragu dalam keimanannya, maka termasuklah dia dalam orang-orang munafik –wal ‘iyadzu billah [semoga Allah melindungi kita dari sifat semacam ini]. Allah Ta’ala mengatakan kepada orang-orang munafik tersebut,

إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ

“Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.”(QS. At Taubah : 45)

Dalam beberapa hadits, Allah mengatakan bahwa orang yang mengucapkan laa ilaha illallah akan masuk surga dengan syarat yakin dan tanpa ada keraguan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidak ada seorang hamba pun yang bertemu Allah (baca: meninggal dunia) dengan membawa keduanya dalam keadaan tidak ragu-ragu kecuali Allah akan memasukkannya ke surga” (HR. Muslim no. 147)

Dari Abu Hurairah juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فَيُحْجَبَ عَنِ الْجَنَّةِ

“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Seorang hamba yang bertemu Allah dengan keduanya dalam keadaan tidak ragu-ragu, Allah tidak akan menghalanginya untuk masuk surga.” (HR. Muslim no. 148)

Syarat ketiga adalah menerima kalimat laa ilaha illallah

Maksudnya adalah seseorang menerima kalimat tauhid ini dengan hati dan lisan, tanpa menolaknya.

Allah telah mengisahkan kebinasaan orang-orang sebelum kita dikarenakan menolak kalimat ini. Lihatlah pada firman Allah Ta’ala,

وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (23) قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آَبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (24) فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (25)

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka".(Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (QS. Az Zukhruf [43] : 23-25)

Dalam kitab shohih dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

« مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ » .

“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti air hujan lebat yang turun ke tanah. Di antara tanah itu ada yang subur yang dapat menyimpan air dan menumbuhkan rerumputan. Juga ada tanah yang tidak bisa menumbuhkan rumput (tanaman), namun dapat menahan air. Lalu Allah memberikan manfaat kepada manusia (melalui tanah tadi, pen); mereka bisa meminumnya, memberikan minum (pada hewan ternaknya, pen) dan bisa memanfaatkannya untuk bercocok tanam. Tanah lainnya yang mendapatkan hujan adalah tanah kosong, tidak dapat menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput (tanaman). Itulah permisalan orang yang memahami agama Allah dan apa yang aku bawa (petunjuk dan ilmu, pen) bermanfaat baginya yaitu dia belajar dan mengajarkannya. Permisalan lainnya adalah permisalah orang yang menolak (petunjuk dan ilmu tadi, pen) dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.” (HR. Bukhari no. 79 dan Muslim no. 2093. Lihat juga Syarh An Nawawi, 7/483 dan Fathul Bari , 1/130)

Syarat keempat adalah inqiyad (patuh) kepada syari’at Allah

Maksudnya adalah meniadakan sikap meninggalkan yaitu seorang yang mengucapkan laa ilaha illallah haruslah patuh terhadap syari’at Allah serta tunduk dan berserah diri kepada-Nya. Karena dengan inilah, seseorang akan berpegang teguh dengan kalimat laa ilaha illallah.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى

“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (QS. Luqman [31] : 22). Yang dimaksudkan dengan ‘telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh’ adalah telah berpegang dengan laa ilaha illallah.

Dalam ayat ini, Allah mempersyaratkan untuk berserah diri (patuh) pada syari’at Allah dan inilah yang disebut muwahhid (orang yang bertauhid) yang berbuat ihsan (kebaikan). Maka barangsiapa tidak berserah diri kepada Allah maka dia bukanlah orang yang berbuat ihsan sehingga dia bukanlah orang yang berpegang teguh dengan buhul tali yang kuat yaitu kalimat laa ilaha illallah. Inilah makna firman Allah pada ayat selanjutnya,

وَمَنْ كَفَرَ فَلَا يَحْزُنْكَ كُفْرُهُ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ فَنُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (23) نُمَتِّعُهُمْ قَلِيلًا ثُمَّ نَضْطَرُّهُمْ إِلَى عَذَابٍ غَلِيظٍ (24)

“Dan barangsiapa kafir (tidak patuh) maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada Kami-lah mereka kembali, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.” (QS. Luqman [31] : 23-24).

(Jadi perbedaan qobul (menerima, syarat ketiga) dengan inqiyad (patuh, syarat keempat) adalah sebagai berikut. Qobul itu terkait dengan hati dan lisan. Sedangkan inqiyad terkait dengan ketundukkan anggota badan,ed).

Syarat kelima adalah jujur dalam mengucapkannya

Maksudnya adalah seseorang yang mengucapkan kalimat ikhlas laa ilaha illallah harus benar-benar jujur (tidak ada dusta) dalam hatinya dan juga diikuti dengan pembenaran dalam lisannya.

Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang munafik -karena kedustaan mereka- pada firman-Nya,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (8) يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (10)

“Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian ," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit , lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al Baqarah [2] : 8-10).

Begitu juga pada firman-Nya,

إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ (1)

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al Munafiqun [63] : 1)

Untuk mendapatkan keselamatan dari api neraka tidak hanya cukup dengan mengucapkan kalimat tauhid tersebut, tetapi juga harus disertai dengan pembenaran (kejujuran) dalam hati. Maka semata-mata diucapkan tanpa disertai dengan kejujuran dalam hati, tidaklah bermanfaat.

Lihatlah hadits dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ

“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya dengan kejujuran dari dalam hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan neraka baginya.” (HR. Bukhari no. 128)

Syarat keenam adalah ikhlas dalam beramal

Maksudnya adalah seseorang harus membersihkan amal -dengan benarnya niat- dari segala macam kotoran syirik.

Allah Ta’ala berfirman,

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah ketaatan (baca: ibadah) yang ikhlas (bersih dari syirik).” (QS. Az Zumar [39] : 3)

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas (memurnikan) keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah [98] : 5)

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ

“Maka sembahlah Allah dengan ikhlas (memurnikan) keta'atan kepada-Nya.” (QS. Az Zumar [39] : 2)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ

“Orang yang berbahagia karena mendapat syafa’atku pada hari kiamat nanti adalah orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas dalam hatinya atau dirinya.” (HR. Bukhari no. 99)

Syarat ketujuh adalah mencintai kalimat laa ilaha illallah

Maksudnya adalah seseorang yang mengucapkan kalimat ini mencintai (tidak benci pada) Allah, Rasul dan agama Islam serta mencintai pula kaum muslimin yang menegakkan kalimat ini dan menahan diri dari larangan-Nya. Dia juga membenci orang yang menyelisihi kalimat laa ilaha illallah, dengan melakukan kesyirikan dan kekufuran yang merupakan pembatal kalimat ini.

Yang menunjukkan adanya syarat ini pada keimanan seorang muslim adalah firman Allah Ta’ala,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah [2] : 165)

Dalam ayat ini, Allah mengabarkan bahwa orang-orang mukmin sangat cinta kepada Allah. Hal ini dikarenakan mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun dalam cinta ibadah. Sedangkan orang-orang musyrik mencintai sesembahan-sesembahan mereka sebagaimana mereka mencintai Allah. Tanda kecintaan seseorang kepada Allah adalah mendahulukan kecintaan kepada-Nya walaupun menyelisihi hawa nafsunya dan juga membenci apa yang dibenci Allah walaupun dia condong padanya. Sebagai bentuk cinta pada Allah adalah mencintai wali Allah dan Rasul-Nya serta membenci musuhnya, juga mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencocoki jalan hidupnya dan menerima petunjuknya.

(Pembahasan syarat laa ilaha illallah ini diringkas dari dua kitab: (1) Ma’arijul Qobul, I/ 327-332 dan (2) Fiqhul Ad’iyyah wal Adzkar, I/180-184)

Inilah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang bisa mendapatkan keutamaan laa ilaha illallah. Jadi, untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan laa ilaha illallah bukanlah hanyalah di lisan saja, namun hendaknya seseorang memenuhi syarat-syarat ini dengan amalan/ praktek (tanpa mesti dihafal). Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mampu meyakini makna kalimat tauhid, mengamalkan konsekuensi-konsekuensinya dalam perkataan maupun perbuatan, dan semoga kita mati dalam keadaan mu’min.

Memiliki Sifat Zuhud

egala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Inilah sifat yang mulia yang patut setiap hamba belajar untuk memilikinya.

Dari Abul ‘Abbas, Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ اَحَبَّنِيَ اللهُ وَ اَحَبَّنِيَ النَّاسُ فَقَالَ : – اِزْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ-


حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَه وَ غَيْرُهُ بِاَسَانِيْدَ حَسَنَةٍ

“Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu perbuatan yang jika aku mengerjakannya, maka aku akan dicintai Allah dan dicintai manusia’. Beliau lantas bersabda:

‘Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pula terhadap apa yang ada pada manusia, niscaya manusia mencintaimu’.”

[Hadits Hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan selainnya dengan sanad hasan]

Beberapa Pelajaran dari Hadits Di Atas

Pertama
Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat tamak dalam melakukan setiap kebaikan, mereka adalah manusia yang terdepan dalam melaksanakan kebaikan daripada yang lainnya. Mereka (para sahabat) betul-betul ingin mengetahui suatu amalan yang dapat menyebabkan mereka mendapat kecintaan Allah dan kecintaan manusia. Oleh karena itu, mereka menanyakan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu” menunjukkan bahwa kecintaan Allah diperoleh dengan seseorang zuhud terhadap dunia. Definisi yang paling bagus, ‘zuhud terhadap dunia’ adalah seseorang meninggalkan sesuatu yang dapat melalaikannya dari mengingat Allah. Definisi ini sebagaimana dinukil dari Al Hafizh Ibnu Rojab ketika beliau menjelaskan hadits ini dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (2/186) dari Abu Sulaiman Ad Daaroniy.

Beliau mengatakan,

“Para ‘alim ulama di Iraq berselisih pendapat mengenai pengertian zuhud. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah menjauhi dari manusia. Ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan berbagai nafsu syahwat. Ada juga yang mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan diri dari kekenyangan. Semua definisi ini memiliki maksud yang sama.”

Kemudian Ad Daaroniy mengatakan bahwa beliau cenderung berpendapat bahwa zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang dapat melalaikan dari mengingat Allah ‘azza wa jalla. Definis beliau ini sangatlah bagus. Karena definisi yang beliau ajukan telah mencakup makna dan macam-macam zuhud.

Ketiga

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Zuhudlah pula terhadap apa yang ada pada manusia, niscaya manusia mencintaimu”. Manusia dikenal begitu tamak terhadap harta dan berbagai kesenangan di kehidupan dunia. Kebanyakan manusia sangat kikir untuk mengeluarkan hartanya dan enggan untuk berderma. Padahal Allah Ta’ala berfirman,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْراً لِّأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu . Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghaabun: 16)

Seharusnya seseorang tidak terkagum-kagum dengan orang yang sangat tamak terhadap dunia dan menampakkan padanya. Jika seseorang merasa cukup dengan apa yang ada pada manusia, dia akan memperoleh kecintaan mereka dan manusia pun akan mencintainya. Jika sudah demikian, maka dia akan selamat dari kejelekan mereka.

Empat

Beberapa faedah berharga dari hadits di atas:

1. Para sahabat sangat bersemangat melakukan sesuatu yang dapat mendatangkan kecintaann Allah dan manusia.
2. Dalam hadits di atas terdapat dalil adanya sifat mahabbah (kecintaan) bagi Allah ‘azza wa jalla.
3. Sesungguhnya kebaikan bagi hamba adalah jika Allah mencintainya.
4. Untuk memperoleh kecintaan Allah dengan zuhud pada dunia.
5. Sesungguhnya jika seseorang zuhud terhadap apa yang ada pada manusia, maka itu merupakan sebab baginya untuk mendapatkan kecintaan mereka. Dengan zuhud seperti ini akan membuatnya memperoleh kebaikan dan selamat dari berbagai kejelekan manusia.


Sumber: Penjelasan Hadits 31 Al Arba’in An Nawawiyah, oleh Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr dalam Fathu Qowil Matin


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

Catatan ilmu di masa silam, 6 Rabi’ul Awwal 1430 H

Kamis, 28 Januari 2010

Letak Kebahagiaan Adalah Di Hati

“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Setiap orang pasti menginginkan hidup bahagia. Namun banyak orang yang menempuh jalan yang salah dan keliru. Sebagian menyangka bahwa kebahagiaan adalah dengan memiliki mobil mewah, Handphone sekelas Blackberry, memiliki rumah real estate, dapat melakukan tur wisata ke luar negeri, dan lain sebagainya. Mereka menyangka bahwa inilah yang dinamakan hidup bahagia. Namun apakah betul seperti itu? Simak tulisan berikut ini.

Kebahagiaan untuk Orang yang Beriman dan Beramal Sholeh

Saudaraku … Orang yang beriman dan beramal sholeh, merekalah yang sebenarnya merasakan manisnya kehidupan dan kebahagiaan karena hatinya yang selalu tenang, berbeda dengan orang-orang yang lalai dari Allah yang selalu merasa gelisah. Walaupun mungkin engkau melihat kehidupan mereka begitu sederhana, bahkan sangat kekurangan harta. Namun jika engkau melihat jauh, engkau akan mengetahui bahwa merekalah orang-orang yang paling berbahagia. Perhatikan seksama firman-firman Allah Ta’ala berikut.
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl: 97). Ini adalah balasan bagi orang mukmin di dunia, yaitu akan mendapatkan kehidupan yang baik.
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97). Sedangkan dalam ayat ini adalah balasan di akhirat, yakni alam barzakh.
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui.” (QS. An Nahl: 41)
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (QS. Huud: 3). Kedua ayat ini menjelaskan balasan di akhirat bagi orang yang beriman dan beramal sholeh.
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)
Inilah empat tempat dalam Al Qur’an yang menjelaskan balasan bagi orang yang beriman dan beramal sholeh. Ada dua balasan yang mereka peroleh yaitu balasan di dunia dan balasan di akhirat. Itulah dua kebahagiaan yang nantinya mereka peroleh. Ini menunjukkan bahwa mereka lah orang yang akan berbahagia di dunia dan akhirat.

Salah Satu Bukti

Seringkali kita mendengar nama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Namanya begitu harum di tengah-tengah kaum muslimin karena pengaruh beliau dan karyanya begitu banyak di tengah-tengah umat ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, nama aslinya adalah Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin Muhammad bin Al Khodr bin Muhammad bin Al Khodr bin Ali bin Abdullah bin Taimiyyah Al Haroni Ad Dimasqi. Nama Kunyah beliau adalah Abul ‘Abbas.
Berikut adalah cerita dari murid beliau Ibnul Qayyim mengenai keadaannya yang penuh kesusahan, begitu juga keadaan yang penuh kesengsaraan di dalam penjara. Namun di balik itu, beliau termasuk orang yang paling berbahagia.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
"Allah Ta’ala pasti tahu bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah Ta’ala, yaitu berupa siksaan dalam penjara, ancaman dan penindasan dari musuh-musuh beliau. Namun bersamaan dengan itu semua, aku dapati bahwa beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya dan paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar kenikmatan hidup yang beliau rasakan. Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan kesempitan hidup, kami segera mendatangi beliau untuk meminta nasehat, maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun sering mengatakan berulang kali pada Ibnul Qoyyim, “Apa yang dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya keindahan surga dan tamannya ada di hatiku.”
Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan tatkala beliau berada di dalam penjara, padahal di dalamnya penuh dengan kesulitan, namun beliau masih mengatakan, “Seandainya benteng ini dipenuhi dengan emas, tidak ada yang bisa menandingi kenikmatanku berada di sini.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga pernah mengatakan, "Sebenarnya orang yang dikatakan dipenjara adalah orang yang hatinya tertutup dari mengenal Allah 'azza wa jalla. Sedangkan orang yang ditawan adalah orang yang masih terus menuruti (menawan) hawa nafsunya (pada kesesatan). "
Bahkan dalam penjara pun, Syaikhul Islam masih sering memperbanyak do’a agar dapat banyak bersyukur pada Allah, yaitu do’a: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik (Ya Allah, aku meminta pertolongan agar dapat berdzikir, bersyukur dan beribadah dengan baik pada-Mu). Masih sempat di saat sujud, beliau mengucapkan do’a ini. Padahal beliau sedang dalam belenggu, namun itulah kebahagiaan yang beliau rasakan.
Tatkala beliau masuk dalam sel penjara, hingga berada di balik dinding, beliau mengatakan,
فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ

“Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.” (QS. Al Hadid: 13)

Itulah kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang memiliki keimanan yang kokoh. Kenikmatan seperti ini tidaklah pernah dirasakan oleh para raja dan juga pangeran.
Para salaf mengatakan,
لَوْ يَعْلَمُ المُلُوْكُ وَأَبْنَاءُ المُلُوْكِ مَا نَحْنُ فِيْهِ لَجَلِدُوْنَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوْفِ

“Seandainya para raja dan pangeran itu mengetahui kenikmatan yang ada di hati kami ini, tentu mereka akan menyiksa kami dengan pedang.”

Mendapatkan Surga Dunia

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Di dunia itu terdapat surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka dia tidak akan memperoleh surga akhirat.”
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa surga dunia adalah mencintai Allah, mengenal Allah, senantiasa mengingat-Nya, merasa tenang dan thuma’ninah ketika bermunajat pada-Nya, menjadikan kecintaan hakiki hanya untuk-Nya, memiliki rasa takut dan dibarengi rasa harap kepada-Nya, senantiasa bertawakkal pada-Nya dan menyerahkan segala urusan hanya pada-Nya.
Inilah surga dunia yang dirindukan oleh para pecinta surga akhirat.
Itulah saudaraku surga yang seharusnya engkau raih, dengan meraih kecintaan Allah, senantiasa berharap pada-Nya, serta dibarengi dengan rasa takut, juga selalu menyandarkan segala urusan hanya kepada-Nya.

Penutup

Inti dari ini semua adalah letak kebahagiaan bukanlah dengan memiliki istana yang megah, mobil yang mewah, harta yang melimpah. Namun letak kebahagiaan adalah di dalam hati.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita dan memberikan kita surga dunia yaitu dengan memiliki hati yang selalu bersandar pada-Nya.

Hati yang selalu merasa cukup itulah yang lebih utama dari harta yang begitu melimpah.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.


Sumber rujukan: Shahih Al Wabilush Shoyyib, 91-96, Dar Ibnul Jauziy


***
Pogung Kidul, 24 Jumadits Tsani 1430 H, selesai di waktu ‘Ashar

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

10 Hal Yg Tidak Bermanfaat Dan Sia - Sia

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.

Pada posting kali ini, kami akan membawakan beberapa faedah dari kitab Al Fawa’id mengenai hal-hal yang sia-sia dan tidak berfaedah. Hal-hal inilah yang banyak dilalaikan oleh kaum muslimin saat ini, termasuk juga kami. Semoga posting kali ini bisa menjadi nasehat bagi kami dan pembaca sekalian.


Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengatakan bahwa ada sepuluh hal yang tidak bermanfaat.

Pertama: memiliki ilmu namun tidak diamalkan.

Kedua: beramal namun tidak ikhlash dan tidak mengikuti tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketiga: memiliki harta namun enggan untuk menginfakkan. Harta tersebut tidak digunakan untuk hal yang bermanfaat di dunia dan juga tidak diutamakan untuk kepentingan akhirat.

Keempat: hati yang kosong dari cinta dan rindu pada Allah.

Kelima: badan yang lalai dari taat dan mengabdi pada Allah.

Keenam: cinta yang di dalamnya tidak ada ridho dari yang dicintai dan cinta yang tidak mau patuh pada perintah-Nya.

Ketujuh: waktu yang tidak diisi dengan kebaikan dan pendekatan diri pada Allah.

Kedelapan: pikiran yang selalu berputar pada hal yang tidak bermanfaat.

Kesembilan: pekerjaan yang tidak membuatmu semakin mengabdi pada Allah dan juga tidak memperbaiki urusan duniamu.

Kesepuluh: rasa takut dan rasa harap pada makhluk yang dia sendiri berada pada genggaman Allah. Makhluk tersebut tidak dapat melepaskan bahaya dan mendatangkan manfaat pada dirinya, juga tidak dapat menghidupkan dan mematikan serta tidak dapat menghidupkan yang sudah mati.
Itulah sepuluh hal yang melalaikan dan sia-sia. Di antara sepuluh hal tersebut yang paling berbahaya dan merupakan asal muasal segala macam kelalaian adalah dua hal yaitu: hati yang selalu lalai dan waktu yang tersia-siakan.

Hati yang lalai akan membuat seseorang mengutamakan dunia daripada akhirat, sehingga dia cenderung mengikuti hawa nafsu. Sedangkan menyia-nyiakan waktu akan membuat seseorang panjang angan-angan.

Padahal segala macam kerusakan terkumpul karena mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Sedangkan segala macam kebaikan ada karena mengikuti al huda (petunjuk) dan selalu menyiapkan diri untuk berjumpa dengan Rabb semesta alam.

Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Faedah ilmu dari Al Fawa’id, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Darul ‘Aqidah

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.com
Catatan di masa silam, Panggang, Gunung Kidul, pagi hari yang penuh berkah, 16 Muharram 1430 H

Senin, 18 Januari 2010

Mengenal Dasar-dasar Keimanan

Mengenal Dasar-dasar Keimanan

Alhamdulillah wa sholatu wa salaam ‘ala Nabiyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.

Salah satu realita yang cukup memprihatinkan pada saat sekarang ini, adalah kondisi kaum muslimin yang mulai tidak peduli terhadap ajaran agama Islam, terutama terhadap perkara aqidah. Sebagian besar kaum muslimin saat ini lebih disibukkan dengan usaha-usaha perbaikan dan pembangunan fisik, peningkatan ekonomi umat, kesejahteraan kaum muslimin dan lain sebagainya, yang pada hakikatnya seluruh jerih payah tersebut tidak membawa banyak perubahan bagi kaum muslimin.

Mereka lupa bahwa perkara yang harus dibenahi pertama kali dari umat ini adalah perkara aqidah dan pembenaran iman. Bukankah perkara yang pertama kali diserukan oleh para rasul Allah kepada umatnya, termasuk Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perkara aqidah?

Allah ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sungguh Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut”. (QS. An Nahl : 36)

Setiap rasul tidaklah diutus oleh Allah ta’ala melainkan dalam rangka pembenaran dan pelurusan aqidah umat. Setiap kitab tidaklah diturunkan oleh Allah ta’ala melainkan dalam rangka menjelaskan aqidah yang selamat dan menjelaskan segala perkara yang dapat membatalkan atau menguranginya. Dan setiap manusia tidaklah diciptakan melainkan karena tujuan ini. Inilah hakikat kunci kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. (Lihat Al Irsyad ila Shahihil I’tiqad, hal. 9)

Landasilah Amal Ibadah dengan Iman

Sah dan tidaknya amalan seorang hamba, ditentukan dengan benar atau tidaknya keimanannya dan keadaan hatinya.

Allah ta’ala berfirman,

أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ تَقْوَىٰ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ

“Maka apakah orang-orang yang membangun bangunan (masjid) atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-Nya adalah lebih baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh , lalu (bangunan) tersebut roboh bersama dia ke dalam neraka jahannam.” (QS. At Taubah :109)

Syaikh As Sa’diy rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya tatkala menafsirkan ayat tersebut, “Maksud dari membangun bangunan (amal ibadah) atas dasar taqwa adalah ‘atas dasar niat yang sholeh dan keikhlasan kepada Allah’. (Taisir Karimirrahman, hal 352)

Dan beliau rahimahullah juga mengatakan, “Sesungguhnya iman merupakan syarat sah dan diterimanya amal sholeh. Dan sebuah amal tidaklah dikatakan sebagai amal yang sholeh melainkan jika didasari dengan iman.” (Taisir Karimirrahman, hal 449)

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang hendak meninggikan bangunannya, maka hendaklah dia mengokohkan pondasinya dan memberikan perhatian penuh terhadapnya. Sesungguhnya kadar tinggi bangunan yang bisa dia bangun adalah sebanding dengan kekuatan pondasi yang dia buat. Amalan manusia adalah ibarat bangunan dan pondasinya adalah iman” (Al Fawa’id, hal. 229)

Kemudian beliau melanjutkan, “Adapun pondasi tersebut mencakup dua perkara : Pertama adalah pengenalan yang baik seorang hamba kepada Allah ‘Azza wa Jalla, seluruh perintah-Nya, nama dan kepada sifat-sifat-Nya yang mulia, dan yang kedua adalah ketundukan yang sempurna kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Al Fawa’id, hal 229-230)

Oleh karena itu, hendaklah seorang muslim memberi perhatian untuk memperbaiki keimanannya dan apa yang diyakini oleh hatinya dan berusaha meninggalkan berbagai bentuk keraguan yang dapat mengurangi dan membatalkan keimanannya.

Sufyan Ibnu ‘Uyainah rahimahullahu berkata, “Ulama-ulama terdahulu biasa saling mengirim nasehat satu dengan yang lainnya, ‘Barang siapa yang memperbaiki apa yang tersembunyi dalam hatinya, maka Allah akan memperbaiki apa yang nampak dari dirinya, dan barang siapa yang memperbaiki hubungannya dengan Allah, maka Allah akan memperbaiki hubungannya dengan para manusia’”[1]

Iman, Sumber Kebahagiaan di Dunia dan di Akhirat

Allah ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barang siapa yang beramal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan, dan dia adalah seorang yang beriman, maka Kami akan memberikan kehidupan yang baik, dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik, dari pada apa yang telah mereka kerjakan.”(QS. An Nahl : 97)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik di dunia adalah lapangnya dada dan tenangnya hati. Walaupun seorang mukmin sedang dilanda musibah yang sangat berat, maka dia akan tetap merasakan kehidupan yang baik, karena kebahagiaan yang hakiki adalah apa yang dirasakan oleh hatinya, yaitu kelapanganan dada dan ketenangan hati. Dan nikmat yang semacam ini tidaklah didapatkan oleh orang-orang yang tidak beriman (orang kafir).[2]

Syaikh As Sa’diy rahimahullah berkata, “Sebab yang paling agung dan paling mendasar yang dapat menyebabkan manusia memperoleh kebahagiaan, adalah iman dan amalan sholih”. Kemudian beliau membawakan ayat di atas (An Nahl : 97) dan mengatakan, “Allah ta’ala telah mengkhabarkan dan menjanjikan bagi orang yang menggabungkan antara iman dan amalan sholeh, bahwa mereka akan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan balasan yang lebih baik ketika di dunia maupun kelak di alam yang abadi (kampung akhirat)”[3]

Oleh karena itu, apa yang menghalangi dan membuat kita enggan untuk segera membenarkan dan meluruskan iman dan keyakinan kita? Bukankah Allah subhaanahu wa ta’ala telah menawarkan janji berupa kebahagiaan hidup bagi orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya iman? Sesungguhnya Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya. Allahul Muwaffiq.

Iman pun Membutuhkan Bukti dan Realisasi

Sebelum membahas banyak tentang sub judul ini, ada baiknya apabila kita mengenal apa yang dimaksudkan dengan kata “iman”. Al Azhari berkata, ”Ahli ilmu dari kalangan pakar bahasa sepakat bahwa yang dimaksudkan dengan iman secara bahasa adalah ‘at tashdiq’ (pembenaran/keyakinan)”[4]

Adapun secara istilah makna iman adalah keyakinan dalam hati, yang diucapkan melalui lisan dan diamalkan dengan anggota badan. Pengertian semacam ini merupakan ijma’ (kesepakatan) ahlussunnah wal jama’ah.

Sebagai mana dikatakan oleh Imam Syafi’i rahimahullahu, “…dan telah menjadi kesepakatan di kalangan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, bahwa yang dimaksud dengan iman adalah perkataan, amal perbuatan, dan niat (keyakinan di dalam hati), dan tidaklah seseorang diberi balasan pahala melainkan karena ketiga hal tersebut”.[5]

Imam Al Ajuri rahimahullahu membuat sebuah bab dalam kitab beliau Asy Syari’ah, “Bab : Sesungguhnya iman adalah pembenaran dan keyakinan dalam hati, pengakuan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota badan. Dan seseorang tidak disebut beriman melainkan jika mengumpulkan ketiga unsur iman tersebut.”[6]

Inilah keimanan yang hakiki, terpatri kokoh di dalam hati seorang mukmin, terpancar dari lisannya dan tercermin dari tingkah laku dan perbuatannya. Terkumpul pada dirinya tiga hal, keyakinan, pengakuan dan pengamalan, satu dengan lainnya tidak terpisahkan.

Sahl bin Abdillah At Tustury rahimahullahu berkata, “Iman adalah perkataan, amalan, niat dan sunnah. Karena barangsiapa yang hanya mengumpulkan perkataan tanpa disertai amalan, maka ini adalah bentuk kekafiran, jika hanya mengumpulkan perkataan dan perbuatan tanpa disertai niat (keyakinan) maka ini adalah bentuk kemunafikan, dan jika hanya terkumpul perkataan, perbuatan, dan niat tanpa disertai sunnah, maka ini adalah bid’ah”.[7]

Mengenal Rukun Iman

Rukun iman yang harus diyakini oleh seorang mukmin ada enam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Malaikat Jibril ‘alaihis salam tentang iman, beliau shallallahu wa sallam bersabda,

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Iman adalah engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya,kepada para rasul-Nya, kepada hari akhir dan engkau beriman terhadap taqdir (ketetapan) Allah, baik (ketetapan) yang baik maupun yang buruk”[8]

Inilah pondasi yang sangat mendasar dalam Islam, yang keenam hal tersebut disebut dengan “rukun iman”, pondasi yang harus dibenahi sebelum kita membenahi perkara-perkara lainnya dari kehidupan ini. Masing-masing rukun iman tersebut membutuhkan penjelasan tersendiri. Semoga Allah memberikan kemudahan dalam membahas rukun iman lain secara lebih lengkap. Allahul Muwwafiq. Washallallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

Penulis: Abu Fauzan Hanif Nur Fauzi

Muroja’ah: M. A. Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id
[1]

[1] Diriwayatkan oleh Hinad bin Sirriy dalam Kitab Az Zuhud, Al Wakii’ dalam Az Zuhud dan Abu Nu’aim dalam Hilyah (kami mengutip dari Kitab Mukhtashor Al Iman Al Kabir, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, hal. 31, Maktabah Darul Minhaj)

[2]

[2] Kitabul ‘Ilmi, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin

[3]

[3] Al Wasailul Mufidah Lil Hayyatis Sa’iidah, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy, As Syamilah.

[4]

[4] Tahdzib Lughah (15/513) (Penulis mengutip dari Kitab Mukhtashor Al Iman Al Kabir, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, hal. 31, Maktabah Darul Minhaj)

[5]

[5] Sebagaimana disebutkan oleh Imam Al Lalika’I dalam syarah Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal jama’ah, hal. 1593.

[6]

[6] Asy Syari’ah (2/211)

[7]

[7] Lihat Mukhtashor Al Iman Al Kabir, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Cet. Maktabah Darul Minhaj, hal. 94-95.

[8]

[8] HR. Muslim, dalam shahihnya no. 8, dari shahabat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu
Klik dan sebarkan:

Dirikanlah Shalat (3): Waktu-waktu Terlarang dan Tempat-Tempat Terlarang untuk Melaksanakan Shalat

Dirikanlah Shalat (3): Waktu-waktu Terlarang dan Tempat-Tempat Terlarang untuk Melaksanakan Shalat

Penulis: Ummul Hasan Athirah
Muraja’ah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar

Alhamdulillah, atas kemudahan dan taufik dari Allah kita akan memulai kembali pelajaran singkat kita tentang shalat. Pada edisi kali ini, kita akan sedikit mengkaji waktu-waktu terlarang dan tempat-tempat terlarang untuk melaksanakan shalat. Semoga bermanfaat bagi kita semua di dunia dan akhirat. Aamiin.


Waktu-Waktu Terlarang untuk Melaksanakan Shalat

Waktu-waktu terlarang yang kita maksud pada pembahasan ini adalah waktu untuk melaksanakan shalat sunnah. Terdapat tiga waktu terlarang untuk mengerjakan shalat sunnah, yaitu:

1. Waktu terbit matahari.
2. Waktu condong matahari pada tengah hari.
3. Waktu tenggelamnya matahari.

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ada tiga waktu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk shalat atau mengubur mayat pada waktu-waktu tersebut, yaitu ketika matahari terbit hingga dia meninggi, ketika bayangan seseorang tampak tegak lurus saat dia berdiri dia bawah sinar matahari hingga condongnya matahari, ketika pancaran sinar matahari semakin berkurang saat hendak terbenam hingga waktu terbenamnya.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi)

Di antara ulama terdapat perbedaan pendapat ilmiah tentang tetap boleh atau tidaknya melaksanakan shalat sunnah pada waktu terlarang, jika ada sebab melaksanakannya. Dua pendapat ulama tersebut adalah:

1. Shalat sunnah boleh dilaksanakan pada waktu-waktu terlarang untuk melaksanakan shalat, jika ada sebab melaksanakannya.
2. Shalat sunnah tidak boleh dilaksanakan pada waktu-waktu terlarang untuk melaksanakan shalat, meskipun ada sebab melaksanakannya.

Dalam permasalahan ini pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama (yang membolehkan jika ada sebab). Wallahu a’lam. Di antara contoh sebab tersebut adalah shalat tahiyyatul masjid, shalat gerhana, istisqa’, dan shalat sunnah dua rakaat setelah berwudhu.

Mari kita sertakan beberapa contoh tentang penjelasan di atas. Semoga menambah pemahaman kita.

Pada saat kita masuk ke sebuah masjid pukul 06.00, misalnya untuk mengikuti pengajian, bolehkah kita shalat tahiyyatul masjid padahal saat itu adalah waktu terlarang untuk shalat? Jawabannya: Boleh, karena kita memiliki sebab untuk melaksanakan shalat di waktu terlarang tersebut, yaitu karena kita masuk ke dalam masjid.

Contoh lain, yaitu saat kita berwudhu pada pukul 11.30, apakah kita boleh melaksanakan shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu? Jawabannya: Boleh, karena sebab kita melaksanakan shalat sunnah tersebut adalah kita selesai melaksanakan wudhu. Shalat sunnah dua rakaat setelah berwudhu merupakan salah satu tuntunan dalam Islam yang ganjarannya begitu mulia. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal ketika shalat shubuh, “Wahai Bilal, beritahukanlah kepadaku tentang sebuah amal yang paling engkau harapkan dalam Islam, karena aku mendengar suara kedua sendalmu berada di hadapanku di surga.” Bilal berkata, “Aku tidak mengetahui amalan yang paling aku harapkan (sebagai amal andalan) selain bahwasanya aku tidaklah berwudhu pada malam atau siang hari, melainkan aku akan shalat semampuku.” (Hadits muttafaq ‘alaih)

Adapun jika kita sekadar hendak shalat di waktu terlarang, tanpa ada sebab tertentu, maka itu tidak diperbolehkan.

Waktu-Waktu dan Tempat-Tempat yang Dikecualikan dari Pelarangan

عن عقبة بن عامر رضي الله عنه قال: ((ثلاث ساعات كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهان أن نصلي فيهن أو أن نقبر فيهن موتانا: حين تطلع الشمس بازغة حتى ترتفع، و حين يقوم قائم الظهيرة حتى تميل الشمس و حين تضيف الشمس للغروب حتى تغرب

Dari ‘Uqbah bin Anir radhiyallhu ‘anhu, dia berkata, “Tiga waktu yang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang kami untuk shalat pada waktu-waktu tersebut atau menguburkan mayat pada saat tersebut adalah ketika matahari terbit hingga matahari tersebut meninggi, ketika tengah hari hingga matahari condong, dan ketika petang hari hingga saat matahari terbenam.”

Tempat-Tempat Terlarang untuk Melaksanakan Shalat

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diberi keutamaan atas para nabi dengan enam hal: aku diberi jawaami’il kalim (kalimat ringkas namun padat makna –pen), aku ditolong pada peperangan (dengan rasa takut pada dada musuhku), harta rampasan perang dihalalkan bagiku, bagiku bumi dijadikan untuk bersuci (tayamum) dan sebagai masjid (tempat untuk shalat –pen), aku diutus kepada seluruh makhluk, dan aku menjadi penutup para nabi.” (Hadits shahih, riwayat Muslim)

Berdasarkan hadits tersebut, dapat dipahami bahwa seluruh bagian permukaan bumi adalah masjid (tempat untuk shalat), kecuali kuburan, kamar mandi, dan kandang unta. Pengecualian tersebut disebutkan pada hadits-hadits berikut ini:

Dari Jundub bin Abdullah Al-Bajlaa, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lima hari sebelum beliau wafat, beliau bersabda, “Ketahuilah bahwa umat sebelum kalian menjadikan kubur para nabi mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid. Ketahuilah, jangnlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid. Sesungguhnya aku melarang kalian dari hal tersebut.” (Hadits shahih, riwayat Muslim)

Dari Abu Sa’id Al-Khudry, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Seluruh bagian bumi adalah masjid, kecuali kuburan dan kamar mandi’.” (Hadits shahih, riwayat Ibnu Majah, Abu Daud, dan Tirmidzi)

Dari Barra ‘ bin Azib, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang shalat di kandang unta, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kalian shalat di kandang unta, karena sesungguhnnya itu di antara tempat setan-setan.’ Dan beliau ditanya tentang shalat di kandang kambing, maka beliau bersabda, ‘Shalatlah kalian di sana karena dia merupakan tempat yang mengandung berkah.’.” (Hadits shahih, riwayat Ibnu Majah dan Abu Daud)


Maraji`:
Al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz oleh Syaikh ‘Abdul ‘Azhim Ibnu Badawi, tahun terbit 1421 H/2001 M, Mesir: Daar Ibnu Rajab

***

Artikel muslimah.or.id

Cinta Bukanlah Disalurkan Lewat Pacaran

Cinta Bukanlah Disalurkan Lewat Pacaran

Diposting oleh admin ⋅ 23 April 2009 ⋅ Kirim buletin ini Kirim buletin ini ⋅ Cetak buletin ini Cetak buletin ini ⋅ Kirim komentar

At Tauhid edisi V/17

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Cinta kepada lain jenis merupakan hal yang fitrah bagi manusia. Karena sebab cintalah, keberlangsungan hidup manusia bisa terjaga. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala menjadikan wanita sebagai perhiasan dunia dan kenikmatan bagi penghuni surga. Islam sebagai agama yang sempurna juga telah mengatur bagaimana menyalurkan fitrah cinta tersebut dalam syariatnya yang rahmatan lil ‘alamin. Namun, bagaimanakah jika cinta itu disalurkan melalui cara yang tidak syar`i? Fenomena itulah yang melanda hampir sebagian besar anak muda saat ini. Penyaluran cinta ala mereka biasa disebut dengan pacaran. Berikut adalah beberapa tinjauan syari’at Islam mengenai pacaran.

Ajaran Islam Melarang Mendekati Zina

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’ [17]: 32)
Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang. Asy Syaukani dalam Fathul Qodir mengatakan, ”Apabila perantara kepada sesuatu saja dilarang, tentu saja tujuannya juga haram dilihat dari maksud pembicaraan.”

Dilihat dari perkataan Asy Syaukani ini, maka kita dapat simpulkan bahwa setiap jalan (perantara) menuju zina adalah suatu yang terlarang. Ini berarti memandang, berjabat tangan, berduaan dan bentuk perbuatan lain yang dilakukan dengan lawan jenis karena hal itu sebagai perantara kepada zina adalah suatu hal yang terlarang.

Islam Memerintahkan untuk Menundukkan Pandangan

Allah memerintahkan kaum muslimin untuk menundukkan pandangan ketika melihat lawan jenis. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada laki–laki yang beriman : ”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur [24]: 30 )
Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman, “Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur [24]: 31)

Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan, ”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahromnya). Hendaklah mereka juga menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera.”

Ketika menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan, ”Firman Allah (yang artinya) ‘katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka’ yaitu hendaklah mereka menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami atau mahromnya, pen) baik dengan syahwat dan tanpa syahwat. … Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.”

Lalu bagaimana jika kita tidak sengaja memandang lawan jenis?
Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5770)

Faedah dari menundukkan pandangan, sebagaimana difirmankan Allah dalam surat An Nur ayat 30 (yang artinya) “yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka” yaitu dengan menundukkan pandangan akan lebih membersihkan hati dan lebih menjaga agama orang-orang yang beriman. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Katsir –semoga Allah merahmati beliau- ketika menafsirkan ayat ini. –Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menundukkan pandangan sehingga hati dan agama kita selalu terjaga kesuciannya-

Agama Islam Melarang Berduaan dengan Lawan Jenis

Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahromnya.” (HR. Bukhari, no. 5233)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.” (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)

Jabat Tangan dengan Lawan Jenis Termasuk yang Dilarang

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)

Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis -yang bukan istri atau mahrom- diistilahkan dengan berzina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan kaedah ushul “apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram”. (Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al Juda’i)

Meninjau Fenomena Pacaran

Setelah pemaparan kami di atas, jika kita meninjau fenomena pacaran saat ini pasti ada perbuatan-perbuatan yang dilarang di atas. Kita dapat melihat bahwa bentuk pacaran bisa mendekati zina. Semula diawali dengan pandangan mata terlebih dahulu. Lalu pandangan itu mengendap di hati. Kemudian timbul hasrat untuk jalan berdua. Lalu berani berdua-duan di tempat yang sepi. Setelah itu bersentuhan dengan pasangan. Lalu dilanjutkan dengan ciuman. Akhirnya, sebagai pembuktian cinta dibuktikan dengan berzina. –Naudzu billahi min dzalik-. Lalu pintu mana lagi paling lebar dan paling dekat dengan ruang perzinaan melebihi pintu pacaran?!

Mungkinkah ada pacaran Islami? Sungguh, pacaran yang dilakukan saat ini bahkan yang dilabeli dengan ’pacaran Islami’ tidak mungkin bisa terhindar dari larangan-larangan di atas. Renungkanlah hal ini!

Mustahil Ada Pacaran Islami

Salah seorang dai terkemuka pernah ditanya, ”Ngomong-ngomong, dulu bapak dengan ibu, maksudnya sebelum nikah, apa sempat berpacaran?”
Dengan diplomatis, si dai menjawab,”Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga berpacaran, tapi berpacaran secara Islami. Lho, gimana caranya? Kami juga sering berjalan-jalan ke tempat rekreasi, tapi tak pernah ngumpet berduaan. Kami juga gak pernah melakukan yang enggak-enggak, ciuman, pelukan, apalagi –wal ‘iyyadzubillah- berzina.

Nuansa berpikir seperti itu, tampaknya bukan hanya milik si dai. Banyak kalangan kaum muslimin yang masih berpandangan, bahwa pacaran itu sah-sah saja, asalkan tetap menjaga diri masing-masing. Ungkapan itu ibarat kalimat, “Mandi boleh, asal jangan basah.” Ungkapan yang hakikatnya tidak berwujud. Karena berpacaran itu sendiri, dalam makna apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah dibenarkan dalam Islam. Kecuali kalau sekedar melakukan nadzar (melihat calon istri sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu sungguh merupakan perancuan istilah. Istilah pacaran sudah kadong dipahami sebagai hubungan lebih intim antara sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan jalan bareng, jalan-jalan, saling berkirim surat, ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang jelas-jelas disisipi oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram, bayangan haram, dan banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat. Bila kemudian ada istilah pacaran yang Islami, sama halnya dengan memaksakan adanya istilah, meneggak minuman keras yang Islami. Mungkin, karena minuman keras itu di tenggak di dalam masjid. Atau zina yang Islami, judi yang Islami, dan sejenisnya. Kalaupun ada aktivitas tertentu yang halal, kemudian di labeli nama-nama perbuatan haram tersebut, jelas terlalu dipaksakan, dan sama sekali tidak bermanfaat.

Pacaran Terbaik adalah Setelah Nikah

Islam yang sempurna telah mengatur hubungan dengan lawan jenis. Hubungan ini telah diatur dalam syariat suci yaitu pernikahan. Pernikahan yang benar dalam Islam juga bukanlah yang diawali dengan pacaran, tapi dengan mengenal karakter calon pasangan tanpa melanggar syariat. Melalui pernikahan inilah akan dirasakan percintaan yang hakiki dan berbeda dengan pacaran yang cintanya hanya cinta bualan.

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1920. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani)
Kalau belum mampu menikah, tahanlah diri dengan berpuasa. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnul Qayyim berkata, ”Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.”

Cinta sejati akan ditemui dalam pernikahan yang dilandasi oleh rasa cinta pada-Nya. Mudah-mudahan Allah memudahkan kita semua untuk menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Allahumma inna nas’aluka ’ilman nafi’a wa rizqon thoyyiban wa ’amalan mutaqobbbalan. [Muhammad Abduh Tuasikal]
Print This PostTag: cinta, nikah, pacaran, pacaran islami, zina

Masuk Surga Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab

Masuk Surga Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab

Diposting oleh admin ⋅ 14 January 2010 ⋅ Kirim buletin ini Kirim buletin ini ⋅ Cetak buletin ini Cetak buletin ini ⋅ Kirim komentar

At Tauhid edisi VI/03

Oleh: Hanif Nur Fauzi

Pembaca yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, kebahagiaan yang hakiki dalam hidup ini adalah ketika seorang hamba dijauhkan oleh Allah ta’ala dari siksa api neraka dan ketika Allah memasukkannya ke dalam surga-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah memperoleh kemenangan, dan bukanlah kehidupan dunia melainkan kehidupan yang menipu.” (QS. ‘Ali Imran: 185) Syaikh As Sa’diy rahimahullah mengatakan, “Orang yang memperoleh kemenangan adalah mereka yang selamat dari adzab yang pedih, dia bisa menikmati berbagai macam kenikmatan di surga. Kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata manusia sebelumnya, belum pernah didengar oleh telinga manusia, dan belum pernah terlintas di dalam hati manusia.”[1] Demikianlah seharusnya orientasi kehidupan seorang muslim, menjadikan kebahagiaan akhirat sebagai puncak cita dan harapannya.

Tauhid, Kunci Kebahagiaan Manusia

Setelah kita mengetahui bahwa kabahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan akhirat, yaitu ketika manusia menikmati kenikmatan surga, sudah selayaknya kita memahami apa sarana yang dapat menghantarkan seseorang menuju surga dengan berbagai kenikmatan yang ada di dalamnya.

Saudaraku, ketahuilah bahwa kunci kebahagiaan tersebut adalah tauhid, menyerahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah ta’ala semata. Barangsiapa yang dapat merealisasikan tauhid dalam seluruh perjalanan hidupnya, dan menjauhi kesyirikan maka sungguh dia adalah orang yang memperoleh kemenangan yang besar.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yaitu orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan dengan kedzoliman (kesyirikan[2]), mereka lah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mendapatkan petunjuk” (Al An’am:82)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ketika beliau menerangkan hakikat hak Allah kepada shahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya hak Allah yang wajib dipenuhi hambanya adalah hendaklah mereka beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat kesyirikan sedikit pun, dan hak hamba yang akan dipenuhi oleh Allah, adalah Allah tidak akan mengadzab orang-orang yang tidak berbuat kesyirikan”[3]

Syaikh As Sa’diy rahimahullah menjelaskan bahwa diantara keutamaan orang yang merealisasikan tauhid adalah terbebasnya ahli tauhid dari kekekalan siksa neraka, bisa jadi orang tersebut disiksa di neraka untuk menghapus dosa-dosanya, namun tidak selama-lamanya. Tetapi jika ahli tauhid mampu merealisasikan tauhid dengan sebenar-benarnya, maka niscaya Allah ta’ala akan menjaga dirinya dari siksa api neraka secara sempurna.[4]

Kesempurnaan tauhid yang terpateri dalam hati seorang ahli tauhid akan memerdekakannya dari penghambaan diri dan ketergantungan hati kepada makhluk, akan membebaskan diri dari rasa takut dan berharap kepada makhluk. Inilah hakikat dari kemuliaan seorang manusia.[5] Hanyalah kepada Allah, seorang ahli tauhid akan menghambakan diri dan menggantungkan hatinya.

Hakikat Merealisasikan Tauhid

Seorang hamba yang merealisasikan tauhid maknanya adalah mensucikan diri dari segala cabang-cabang kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan.[6]

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan secara ringkas bahwa makna ‘merealisasikan tauhid’ adalah membersihkan diri dari noda-noda kesyirikan. Ini tidak akan pernah terwujud dalam diri hamba melaikan terpenuhi tiga perkara: Al Ilmu (mengetahui makna tauhid), Al I’tiqod (meyakini kandungan tauhid) dan Al Inqiyad (tunduk terhadap konsekuensi-konsekuensi tauhid).[7] Jika ketiga hal tadi telah terwujud dan terbukti secara nyata pada seseorang (secara umum) maka masuk surga tanpa hisab menjadi jaminan bagi dirinya.

Lihatlah Balasan bagi Sang Perealisasi Tauhid

Saudaraku, diantara balasan orang yang merealisasikan tauhid adalah masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, dalam hadits yang panjang:

“Telah diperlihatkan kepada diriku umat-umat manusia. Aku melihat seorang Nabi yang bersamanya beberapa orang dan bersamanya satu dan dua orang, serta seorang Nabi yang tidak ada seorang pun bersamanya. Tiba-tiba ditampakkan kepada diriku sekelompok manusia yang berjumlah banyak, dan aku pun mengira bahwa mereka adalah umatku. Tetapi dikatakan kepadaku, ‘Ini adalah Musa bersama kaumnya’. Lalu tiba-tiba aku melihat sekelompok manusia yang banyak pula. Kemudian dikatakan kepadaku ini adalah umatmu, dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab”.

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan bergegas masuk ke dalam rumahnya. Maka para shahabat mulai membicarakan siapakah mereka itu. Di antara mereka ada yang mengatakan, ‘Mungkin mereka adalah orang-orang yang menjadi shahabat Rasulullah’. Ada lagi yang mengatakan, ‘Mungkin mereka adalah orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam, sehingga mereka tidak pernah berbuat kesyirikan’. Dan ada di antara mereka yang menyebutkan kemungkinan lainnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan menemui mereka dan menjelaskan, “Mereka adalah orang-orang tidak meminta diruqyah, tidak meminta diobati dengan cara kai (menempel luka dengan besi panas), tidak melakukan tathayur, dan mereka adalah orang-orang yang bertawakal kepada Rabb mereka”. (HR. Bukhari 5705, 6541 dan Muslim 220)

Makna Istirqa’ (Meminta untuk Diruqyah oleh Orang Lain)

Ruqyah adalah bacaan-bacaan tertentu untuk perlindungan yang dibacakan kepada seseorang yang menderita penyakit, semisal penyakit demam, penyakit ayan dan penyakit yang lainnya.[8] Pada asalnya, ruqyah adalah sebagaimana cara pengobatan pada umumnya. Ada beberapa syarat yang harus ada agar ruqyah tersebut tergolong ruqyah yang disyariatkan.

Diantara syarat-syarat ruqyah yang disyari’atkan adalah: (1) Tidak meyakini bahwa ruqyah tersebut mampu menyembuhkan dengan sendirinya, tanpa izin dari Allah ta’ala. (2) Tidak mengandung kata-kata yang menyelisihi syariat, semisal lafadz-lafadz doa kepada selain Allah, meminta bantuan kepada jin dan yang semisalnya. (3) Lafadz-lafadz ruqyah hendaklah dapat dipahami maknanya.[9]

Adapun ruqyah yang tidak memenuhi syarat di atas, maka merupakan ruqyah yang terlarang, bisa menjadi sarana kesyirikan atau bahkan bisa termasuk ke dalam syirik besar.

Ibnul Qayyim, menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallahu, menjelaskan bahwa yang terlarang adalah meminta untuk diruqyah oleh orang lain. Karena pada diri orang yang meminta diruqyah, terdapat kecondongan dan penyandaran hati kepada selain Allah ta’ala. Adapun jika kita meruqyah orang lain, maka hal ini tidak termasuk dalam larangan makruh ini.[10] Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meruqyah[11] diri beliau sendiri, demikian pula Malaikat Jibril pernah meruqyah beliau[12], demikian pula para shahabat juga pernah meruqyah.[13]

Makna Pengobatan Kai

Pengobatan kai adalah pengobatan dengan cara menempelkan besi panas pada luka dengan tujuan agar darah yang keluar dari luka cepat mengering dan berhenti.

Ibnul Atsir rahimahullahu membawakan pendapat bahwa hukum pengobatan kai adalah terlarang jika digunakan sebagai media pencegahan penyakit, namun hukumnya mubah ketika ada kebutuhan.[14] Hanya saja, seseorang yang tidak meminta diobati dengan cara kai, menunjukkan adanya kesempurnaan tawakal kepada Allah ta’ala.

Makna Tathayur

Ibnu Atsir rahimahullahu dalam kitabnya An Nihayah menjelaskan, tathayur adalah merasa sial terhadap sesuatu, yang karenanya dia membatalkan niat untuk melakukan aktivitasnya.[15] Tathayur diambil dari kata ‘thairun’ (Indonesia: burung), karena orang arab biasa beranggapan sial atau merasa beruntung dengan mengaitkannya dengan burung. Ketika hendak safar, dalam rangka ‘penunjuk jalan’, mereka menggertak burung, jika burung terbang ke arah kanan maka mereka meneruskan perjalanannya, tetapi jika burung ke arah kiri, maka mereka membatalkan perjalanan mereka.[16]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, tidak ada seorang pun di antara kita melainkan (dalam hatinya terdapat hal ini), hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakalnya”[17] (Thiyarah -dalam bahasa arab- adalah bentuk jamak dari tathayur)

Tathayur adalah perkara yang terlarang dalam agama Islam, karena tathayur menyebabkan berkurangnya kemurnian tauhid seseorang. Seseorang yang melakukan tathayur maka dia telah bertawakal dan menyandarkan hatinya kepada selain Allah ta’ala, dan dia telah melakukan sebab yang pada hakikatnya tidak ada kaitan dan hubungannya sama sekali dengan keinginannya.[18]

Tawakal hanya kepada Allah ta’ala Semata

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa sifat yang terakhir dari orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azdab adalah bertawakal kepada Allah ta’ala. Inilah pangkal dari segalanya. Tawakal adalah penyandaran hati dengan sebenarnya kepada Allah ta’ala dalam mewujudkan kebaikan dan dalam menangkal bahaya, dengan diiringi usaha-usha yang diijinkan dalam syari’at Islam.

Sebab utama yang menghantarkan seseorang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab, adalah adanya kesempurnaan tauhid pada dirinya. Karena kesempurnaan tauhid dan penyandaran hati kepada Allah itulah, mereka enggan untuk meminta ruqyah, meminta di-kay kepada orang lain, karena pada hakikatnya perbuatan semacam itu sangat besar kemungkinan hilangnya tawakal kepada Allah ta’ala dalam dirinya.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya): “Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).” (Ath Tholaq : 3).

Tawakal pun Membutuhkan Usaha

Bukanlah maksud hadits di atas, seseorang tidak perlu berusaha dalam mewujudkan keinginannya, hanya berpangku tangan menunggu pertolongan Allah datang. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan[19] bahwa, tawakal harus memenuhi dua hal, yaitu (1) Penyandaran hati yang sebenarnya kepada Allah ta’ala, (2) Melakukan sebab-sebab yang diijinkan dalam syari’at.

Kedua hal tersebut harus beriringan, tidak boleh seseorang bersandar kepada Allah tanpa ada usaha sedikit pun, atau melakukan usaha tanpa menyandarkan hati kepada Allah ta’ala. Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan, ”Barang siapa yang meniadakan sebab dalam usahanya, maka hal ini menunjukkan kecacatan tawakalnya, barang siapa yang tidak berusaha maka hanya akan menjadikan harapannya sebatas angan-angan semata.”[20]

Semoga Allah ta’ala menjadikan kita sebagai bagian dari barisan muwahhidin (ahli tauhid), yang mendapatkan janji dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga tanpa adzab dan tanpa hisab. Amiin. [Hanif Nur Fauzi]

_____________

[1] Taisir Karimirrahman, hal. 159, Cetakan Maktabah Ar Rusyd
[2] Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, riwayat Bukhari no. 3360 dan Muslim no.124
[3] HR. Bukhori, no.2856
[4] Al Qoulul Sadid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy, hal.57
[5] Al Qoulul Sadid Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy, hal.60
[6] Fathul Majiid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, hal. 75
[7] Al Qoulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, hal. 91.
[8] An Nihayah fi Gharibil Atsar, Ibnul Atsir, Maktabah Syamilah
[9] Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 187
[10] Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim Al Jauziyah, Maktabah Syamilah
[11] HR. Bukhari, Kitab At Thibi, Bab Ruqyatun Nabiy, no. 5744
[12] HR. Muslim, Kitab As Salam, Bab At Thibi wal Marodhi war Ruqa, no. 5828
[13] HR. Bukhari, no. 2276, 5007
[14] An Nihayah fi Gharibil Atsar, Ibnul Atsir, Maktabah Syamilah
[15] An Nihayah fi Gharibil Atsar, Ibnul Atsir, Maktabah Syamilah
[16] Lihat Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, jilid 1, hal. 559
[17] HR. Abu Dawud, no 3912, di shahihkan oleh Syaikh Al Albani
[18] Lihat Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin,jilid 1, hal. 560
[19] Lihat Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, jilid 2, hal. 8
[20] Al Fawa’id, Hakikat At Tawakul wa Darajatuhu, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, cetakan Maktabah Ar Rusyd, hal. 139.

Jumat, 15 Januari 2010

Siapa Yg Menanam Dia Yg Akan Menuai..


egala puji itu hanyalah milik Allah. Dialah zat yang telah menyempurnakan nikmat-Nya untuk kita dan secara berturut-turut memberikan berbagai pemberian dan anugerah kepada kita.
Semoga Allah menyanjung dan memberi keselamatan untuk Nabi kita Muhammad, keluarganya yang merupakan manusia pilihan dan semua sahabatnya yang merupakan manusia-manusia yang bertakwa seiring silih bergantinya malam dan siang.

Kita pasti pernah mendengar peribahasa ini, “Siapa yang menanam, Dia yang akan menuai.” Maksudnya, jika seseorang menanam kebaikan, maka ia akan menuai kebaikan pula. Dan jika seseorang menanam kejelekan, maka ia akan menuai hasil yang jelek pula. Berikut beberapa contoh dalam Al Qur'an dan hadits yang menceritakan maksud dari peribahasa ini.

Menjaga Hak Allah, Menuai Penjagaan Allah

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengajarkan pada Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhuma- sebuah kalimat,
احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ

“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.”1

Yang dimaksud menjaga Allah di sini adalah menjaga batasan-batasan, hak-hak, perintah, dan larangan-larangan Allah. Yaitu seseorang menjaganya dengan melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan tidak melampaui batas dari batasan-Nya (berupa perintah maupun larangan Allah). Orang yang melakukan seperti ini, merekalah yang menjaga diri dari batasan-batasan Allah. Yang utama untuk dijaga adalah shalat lima waktu yang wajib. Dan yang patut dijaga lagi adalah pendengaran, penglihatan dan lisan dari berbagai keharaman. Begitu pula yang mesti dijaga adalah kemaluan, yaitu meletakkannya pada yang halal saja dan bukan melalui jalan haram yaitu zina.2
Barangsiapa menjaga diri dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan, maka ia akan mendapatkan dua penjagaan.

Penjagaan pertama: Allah akan menjaga urusan dunianya yaitu ia akan mendapatkan penjagaan diri, anak, keluarga dan harta.
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Barangsiapa menjaga (hak-hak) Allah, maka Allah akan menjaganya dari berbagai gangguan.” Sebagian salaf mengatakan, “Barangsiapa bertakwa pada Allah, maka Allah akan menjaga dirinya. Barangsiapa lalai dari takwa kepada Allah, maka Allah tidak ambil peduli padanya. Orang itu berarti telah menyia-nyiakan dirinya sendiri. Allah sama sekali tidak butuh padanya.”
Jika seseorang berbuat maksiat, maka ia juga dapat melihat tingkah laku yang aneh pada keluarganya bahkan pada hewan tunggangannya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Jika aku bermaksiat pada Allah, maka pasti aku akan menemui tingkah laku yang aneh pada budakku bahkan juga pada hewan tungganganku.”3

Penjagaan kedua: Penjagaan yang lebih dari penjagaan pertama, yaitu Allah akan menjaga agama dan keimanannya. Allah akan menjaga dirinya dari pemikiran rancu yang bisa menyesatkan dan dari berbagai syahwat yang diharamkan.4

Semoga dengan menjaga hak-hak Allah, kita semua bisa menuai dua penjagaan ini.



Berlaku Jujur, Menuai Kebaikan

Dari sahabat 'Abdullah bin Mas'ud, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”5

Terkhusus lagi, beliau memerintahkan kejujuran ini pada pedagang karena memang kebiasaan para pedagang adalah melakukan penipuan dan menempuh segala cara demi melariskan barang dagangan.
Dari Rifa'ah, ia mengatakan bahwa ia pernah keluar bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke tanah lapang dan melihat manusia sedang melakukan transaksi jual beli. Beliau lalu menyeru, “Wahai para pedagang!” Orang-orang pun memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sambil menengadahkan leher dan pandangan mereka pada beliau. Lantas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ

“Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur.”6
Berlaku jujur juga akan menuai berbagai keberkahan. Yang dimaksud keberkahan adalah tetapnya dan bertambahnya kebaikan. Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا - أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا - فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu.”7
Inilah buah yang dipetik dari pedagang yang tidak berlaku jujur. Sedangkan sebaliknya jika pedagang bisa berlaku jujur, maka ia pun akan menuai berbagai kebaikan dan keberkahan.

Mudah Memaafkan dan Tawadhu', Menuai Kemuliaan

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ رَجُلاً بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

“Sedekah tidak mungkin mengurangi harta. Tidaklah seseorang suka memaafkan, melainkan ia akan semakin mulia. Tidaklah seseorang bersikap tawadhu' (rendah diri) karena Allah, melainkan Allah akan meninggikan derajatnya. “8
Seseorang yang selalu memaafkan akan semakin mulia dan bertambah kemuliaannya. Ia juga akan mendapatkan balasan dan kemuliaan di akhirat. Begitu pula orang yang tawadhu' (rendah diri) karena Allah, ia akan ditinggikan derajatnya di dunia, Allah akan senantiasa meneguhkan hatinya dan meninggikan derajatnya di sisi manusia, serta kedudukannya pun akan semakin mulia. Di akhirat pun, Allah akan meninggikan derajatnya karena ketawadhu'annya di dunia.9

Berperilaku Baik, Menjadi Teman Akrab

Allah Ta'ala berfirman,
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
Sahabat yg mulia, Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhuma- mengatakan, "Allah memerintahkan pada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini."
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, "Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa."10

Menolong dan Memudahkan Sesama, Menuai Pertolongan dan Kemudahan dari Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

“Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.”11
Di antara bentuk pertolongan di sini adalah seseorang memberikan kemudahan dalam masalah utang. Ini bisa dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, memberikan tenggang waktu pelunasan dari tempo yang diberikan, ini hukumnya wajib. Karena Allah Ta'ala berfirman,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” (QS. Al Baqarah: 280). Cara kedua, dengan memutihkan hutang tersebut, dan ini dianjurkan. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280)
Berkebalikan dari sikap baik ini adalah mengenakan riba pada saudaranya yang menunda utang. Ini adalah berkebalikan dari memberi kemudahan. Maka tentu saja orang yang memberi kesulitan pada saudaranya akan menuai hasil yang sebaliknya.

Usaha disertai Tawakkal akan Menuai Hasil

Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً

”Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”12 Burung ini melakukan usaha dan bertawakkal pada Allah, akhirnya ia pun kenyang ketika pulang di sore hari. Ini berarti tanpa usaha, tidak akan memperoleh hasil apa-apa. Dan usaha tanpa tawakkal, hanya akan memperoleh sekadar yang Allah takdirkan. Yang tepat adalah usaha disertai tawakkal, niscaya hasil memuaskan yang akan dituai.

Berbuat Curang, Menuai Berbagai Musibah

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤُنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ

“Dan tidaklah mereka berbuat curang ketika menakar dan menimbangm melainkan mereka akan ditimpa kekeringan, mahalnya biaya hidup dan kelaliman para penguasa.”13
Dan sebab curang dalam perniagaaan inilah sebab dibinasakannya kaum Madyan, umat Nabi Syu'aib 'alaihis salam. Allah Ta'ala memerintahkan pada kaum Madyan,
أَوْفُوا الْكَيْلَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُخْسِرِينَ (181) وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ (182) وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ (183)

“Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang- orang yang merugikan; dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS. Asy Syu'ara: 181-183)

Jadi ingatlah, setiap yang kita tanam -baik kebaikan maupun kejelekan-, pasti kita akan menuai hasilnya. Oleh karenanya, bersemangatlah dalam menanam kebaikan dan janganlah pernah mau menanam kejelekan.

Para ulama seringkali mengutarakan, “Balasan dari kebaikan adalah kebaikan setelahnya. Sedangkan balasan dari kejelekan adalah kejelekan setelahnya.”14

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.


Referensi:

1. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya' At Turots Al 'Arobiy, Beirut, cetakan kedua, 1392.
2. Jaami'ul 'Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.
3. Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1421 H.
4. Sifat Perdagangan Nabi, Muhammad Arifin Badri, MA, Pustaka Darul Ilmi, cetakan pertama, tahun 1429 H.


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.com
Disempurnakan pada siang hari, 16 Muharram 1431 H di Panggang-Gunung Kidul.

Footnote:

1 HR. Tirmidzi no. 2516 dan Ahmad 1/303. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

2 Lihat Jaami'ul 'Ulum wal Hikam, hal. 223-224.

3 Lihat Jaami'ul 'Ulum wal Hikam, hal. 225-226.

4 Faedah dari Jaami'ul 'Ulum wal Hikam, hal. 224-226.

5 HR. Muslim no. 2607.

6 HR. Tirmidzi no. 1210 dan Ibnu Majah no. 2146. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib 1785 mengatakan bahwa hadits tersebut shahih lighoirihi (shahih dilihat dari jalur lainnya).

7 HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532.

8 HR. Muslim no. 2588, dari Abu Hurairah.

9 Al Minhaj Syarh Muslim, 16/141-142.

10 Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/243.

11 HR. Muslim no. 2699, dari Abu Hurairah

12 HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310.

13 HR. Ibnu Majah no. 4019. Syaikh Al Albani mengatkan bahwa hadits ini hasan.

14 Lihat Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 14/372 [Tafsir Surat Al Lail ayat 7]

Lemah Lembutlah Dalam Bertutur Kata..

Segala puji bagi Allah, Rabb yang berhak disembah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Semakin maju zaman, semakin manusia menjauh dari akhlaq yang mulia. Perangai jahiliyah dan kekasaran masih meliputi sebagian kaum muslimin. Padahal Islam mencontohkan agar umatnya berakhlaq mulia, di antaranya adalah dengan bertutur kata yang baik. Akhlaq ini semakin membuat orang tertarik pada Islam dan dapat dengan mudah menerima ajakan. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita perangai yang mulia ini.




Perintah Allah untuk Berlaku Lemah Lembut

Allah Ta'ala berfirman,
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. ” (QS. Al Hijr: 88)
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengatakan, “'Berendah dirilah' yang dimaksud dalam ayat ini hanya untuk mengungkapkan agar seseorang berlaku lemah lembut dan tawadhu' (rendah diri).”1 Jadi sebenarnya ayat ini berlaku umum untuk setiap perkataan dan perbuatan, yaitu kita diperintahkan untuk berlaku lemah lembut. Ayat ini sama maknanya dengan firman Allah Ta'ala,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ الله لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ القلب لاَنْفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ

“ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imron: 159). Yang dimaksud dengan bersikap keras di sini adalah bertutur kata kasar.2 Dengan sikap seperti ini malah membuat orang lain lari dari kita.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Berlaku lemah lembut inilah akhlaq Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang di mana beliau diutus dengan membawa akhlaq yang mulia ini.”3

Keutamaan Bertutur Kata yang Baik

Pertama: Sebab Mendapatkan Ampunan dan Sebab Masuk Surga

Dari Abu Syuraih, ia berkata pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، دُلَّنِي عَلَى عَمِلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ

“Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga.” Beliau bersabda,
إِنَّ مِنْ مُوجِبَاتِ الْمَغْفِرَةِ بَذْلُ السَّلامِ، وَحُسْنُ الْكَلامِ

“Di antara sebab mendapatkan ampunan Allah adalah menyebarkan salam dan bertutur kata yang baik.”4

Kedua: Mendapatkan Kamar yang Istimewa di Surga Kelak

Dari 'Ali, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Di surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar.” Kemudian seorang Arab Badui bertanya, “Kamar-kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau pun bersabda,
لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ

“Kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa saja yang tutur katanya baik, gemar memberikan makan (pada orang yang butuh), rajin berpuasa dan rajin shalat malam karena Allah ketika manusia sedang terlelap tidur.”5

Ketiga: Bisa menggantikan Sedekah

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ

“Tutur kata yang baik adalah sedekah.”6
Dari 'Adi bin Hatim, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

“Selamatkanlah diri kalian dari siksa neraka, walaupun dengan separuh kurma. Jika kalian tidak mendapatkannya, maka cukup dengan bertutur kata yang baik.”7
Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan tutur kata yang baik sebagai pengganti dari sedekah bagi yang tidak mampu untuk bersedekah.”8

Ibnu Baththol mengatakan, “Tutur kata yang baik adalah sesuatu yang dianjurkan dan termasuk amalan kebaikan yang utama. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam hadits ini) menjadikannya sebagaimana sedekah dengan harta. Antara tutur kata yang baik dan sedekah dengan harta memiliki keserupaan. Sedekah dengan harta dapat menyenangkan orang yang diberi sedekah. Sedangkan tutur kata yang baik juga akan menyenangkan mukmin lainnya dan menyenangkan hatinya. Dari sisi ini, keduanya memiliki kesamaan (yaitu sama-sama menyenangkan orang lain).”9

Keempat: Menyelematkan Seseorang dari Siksa Neraka

Dalilnya adalah hadits Adi bin Hatim di atas. Ibnu Baththol mengatakan, “Jika tutur kata yang baik dapat menyelamatkan dari siksa neraka, berarti sebaliknya, tutur kata yang kotor (jelek) dapat diancam dengan siksa neraka.”10

Kelima: Dapat Menghilangkan Permusuhan

Ibnu Baththol mengatakan, “Ketahuilah bahwa tutur kata yang baik dapat menghilangkan permusuhan dan dendam kesumat. Lihatlah firman Allah Ta'ala,
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

“Tolaklah (kejelekan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34-35). Menolak kejelekan di sini bisa dengan perkataan dan tingkah laku yang baik.”11
Sahabat yg mulia, Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhuma- mengatakan, "Allah memerintahkan pada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini."

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, "Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa."12

Berlaku Lemah Lembut Bukan Berarti Menjilat

Perlu dibedakan antara berlaku lemah lembut dengan tujuan membuat orang tertarik dan berlaku lembah lembut dengan maksud menjilat. Yang pertama ini dikenal dengan mudaroh yaitu berlaku lemah lembut agar membuat orang lain tertarik dan tidak menjauh dari kita. Yang kedua dikenal dengan mudahanah yaitu berlaku lemah lembut dalam rangka menjilat dengan mengorbankan agama. Sikap yang kedua ini adalah sikap tercela sebagaimana yang Allah firmankan,
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ

“Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (QS. Al Qalam: 9)
Ibnu Jarir Ath Thobari menafsirkan ayat di atas, “Wahai Muhammad, orang-orang musyrik tersebut ingin kalian berlaku lembut pada mereka (dengan mengorbankan agama kalian) dengan memenuhi seruan untuk beribadah kepada sesembahan mereka. Jika kalian demikian, maka mereka akan berlaku lembut pada kalian dalam ibadah yang kalian lakukan pada sesembahan kalian.”13

Oleh karenanya, orang yang bersikap mudaroh akan berlemah lembut dalam pergaulan tanpa meninggalkan sedikitpun prinsip agamanya. Sedangkan orang yang bersikap mudahin, ia akan berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian dari prinsip agamanya.
Hendaknya kita bisa memperhatikan perbedaan antara mudaroh dan mudahanah. Lemah lembut yang dituntunkan adalah dalam rangka membuat orang tertarik dengan akhlaq kita yang baik. Sikap pertama inilah yang akan membuat orang menerima dakwah, namun tetap dengan mempertahankan prinsip-prinsip beragama. Sedangkan lemah lembut yang tercela adalah jika sampai mengorbankan sebagian prinsip beragama dan mendiamkan kemungkaran tanpa adanya pengingkaran minimalnya dengan hati.

Semoga Allah senantiasa menganugerahkan kepada kita tutur kata yang baik dan akhlaq yang mulia. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.com
Diselesaikan dengan anugerah Allah di Panggang-Gunung Kidul, 24 Muharram 1431 H


Footnote:

1 Adhwaul Bayan, Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, 3/238, Dar Ilmi Al Fawaid.

2 Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, 3/233, Muassasah Qurthubah.

3 Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 3/232,

4 HR. Thobroni dalam Mu'jam Al Kabir no. 469 (Maktabah Al 'Ulum wal Hikam, cetakan kedua, 1404 H). Al 'Iroqi dalam Takhrij Al Ihya' (2/246) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (bagus). Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah (1035) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih dan perowinya terpercaya.

5 HR. Tirmidzi no. 1984 dan Ahmad (1/155). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

6 HR. Ahmad (2/316) dan disebutkan oleh Al Bukhari dalam kitab shahihnya secara mu'allaq (tanpa sanad). Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.

7 HR. Bukhari no. 6023 dan Muslim no. 1016.

8 'Iddatush Shobirin wa Dzakhirotusy Syakirin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 109, Mawqi' Al Waroq

9 Syarh al Bukhari, Ibnu Baththol, 17/273, Asy Syamilah.

10 Syarh al Bukhari, 4/460.

11 Syarh al Bukhari, 17/273.

12 Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/243.

13 Tafsir Ath Thobari, Ibnu Jarir Ath Thobari, 23/157, Tahqiq: Dr. Abdullah bin Abdil Muhsin At Turki, Dar Hijr.

Template by:
Free Blog Templates